Foto: 7 Kepala Desa kecamatan Talang Empat mengadakan Pertemuan membahas penolakan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Bumi Rafflesia Indah (BRI) pertemuan berlangsung di desa Tengah Padang pada kamis, (17/7/25), (ft/Ist).
7 Desa di Bengkulu Tengah Tolak Perpanjangan HGU PT BRI, Desak Audit Lahan dan Kembalikan Hak Rakyat
Kantor-Berita.Com, Bengkulu Tengah|| Gelombang penolakan terhadap perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) milik PT. Bumi Rafflesia Indah (BRI) kian menguat. Kali ini, tujuh desa penyangga perkebunan sawit di Kabupaten Bengkulu Tengah secara tegas menyatakan keberatan mereka atas rencana perpanjangan izin tersebut.
Pernyataan penolakan tersebut disampaikan dalam pertemuan resmi antarperwakilan desa yang dipusatkan di Desa Tengah Padang, pada kamis (17/7/25), yang juga dihadiri langsung oleh kepala desa dari wilayah terdampak, yaitu Desa Jaya Karta, Pulau Panggung, Air Putih, Lagan, dan Kembang Seri. Mereka menyatakan bahwa keberadaan PT BRI selama ini telah menimbulkan banyak permasalahan hukum, sosial, dan agraria.
Foto: Perkebunan Sawit Milik PT. Bumi Rafflesia Indah (BRI) (Ft/Ist).
Kepala DesaTengah Padang, Arshandi, dalam pernyataan resminya mengungkapkan bahwa hasil pertemuan tersebut menyepakati satu sikap: menolak perpanjangan HGU PT BRI. Menurutnya, HGU yang dimiliki perusahaan tersebut tidak sah secara hukum, bahkan cacat administratif karena prosesnya dinilai melanggar prosedur perizinan.
“Kami, tujuh kepala desa dan perwakilan masyarakat, sepakat menolak perpanjangan HGU PT BRI. HGU mereka cacat hukum karena tumpang tindih dengan lahan transmigrasi milik masyarakat di Desa Jaya Karta. Transmigrasi itu terjadi pada tahun 1971, jauh sebelum PT BRI hadir,” tegas Arshandi.
Ia menambahkan bahwa sebelum PT BRI masuk, lahan tersebut sempat berada di bawah pengelolaan PT Air Sebakul, yang saat itu memiliki HGU untuk tanaman cokelat atau kakao sejak 1986. Namun secara tiba-tiba, muncul klaim HGU atas nama PT BRI, yang justru menimbulkan konflik dengan masyarakat.
Arshandi juga mengungkapkan adanya kejanggalan mengenai luas lahan yang diklaim oleh PT BRI. Berdasarkan pengakuan manajemen perusahaan, luas HGU PT BRI hanya 397 hektare. Namun, dalam praktik di lapangan, perusahaan diduga menguasai hingga 1000 hektare, atau hampir tiga kali lipat dari pengakuan resmi.
“Informasi dari manajer PT BRI menyebutkan bahwa lahannya hanya 397 hektare. Tapi kenyataannya mereka kuasai hingga 1000 hektare. Ini jelas tidak sesuai dengan data dan menimbulkan ketidakpercayaan dari masyarakat,” ujar Arshandi.
Masalah lainnya yang diungkap adalah status masa berlaku HGU PT BRI yang disebut sudah berakhir sejak tahun 2017. Namun hingga kini, delapan tahun berlalu, perusahaan belum juga memperbarui izin tersebut.
“Menurut regulasi, perpanjangan HGU harus diajukan paling lambat tiga tahun sebelum masa berakhir. Artinya, seharusnya PT BRI sudah mengurus perpanjangan sejak tahun 2014. Tapi hingga 2025 ini, belum ada kejelasan hukum,” kata Arshandi.
Menindaklanjuti penolakan ini, perwakilan tujuh desa berencana akan melayangkan surat resmi kepada Bupati Bengkulu Tengah, Gubernur Bengkulu, hingga Kementerian ATR/BPN. Mereka mendesak agar pemerintah segera melakukan audit hukum dan investigasi agraria terhadap status lahan yang dikuasai oleh PT BRI.
Warga juga meminta pemerintah tidak memberikan perpanjangan HGU hingga seluruh konflik lahan diselesaikan. Dalam waktu dekat, sejumlah aksi damai dan audiensi ke DPRD Kabupaten Bengkulu Tengah juga tengah dipersiapkan.
Dalam kesimpulan pertemuan di Desa Tengah Padang, perwakilan masyarakat dan para kepala desa sepakat mengajukan tiga tuntutan utama:
Menolak perpanjangan HGU PT BRI secara tegas karena cacat hukum dan merugikan masyarakat.
Mendesak pemerintah daerah dan pusat untuk melakukan investigasi menyeluruh terkait kepemilikan dan penggunaan lahan oleh PT BRI.
Mengembalikan lahan yang bersengketa kepada masyarakat, terutama mereka yang memiliki bukti sejarah penguasaan tanah sejak program transmigrasi.
Masyarakat menaruh harapan besar kepada pemerintah daerah, kementerian terkait, dan lembaga agraria nasional untuk benar-benar berpihak pada kepentingan rakyat. Mereka meminta agar pemerintah tidak hanya mengutamakan investasi, tetapi juga memperhatikan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.
“Kami bukan anti investor, tapi jangan korbankan hak rakyat demi keuntungan korporasi. Kalau HGU tetap diperpanjang tanpa evaluasi, itu sama saja menginjak-injak rakyat kecil,” tutup Arshandi. (**)
Persaingan Ketat Jabatan Sekda Bengkulu: Delapan Pejabat Lolos Seleksi Administrasi, Lanjut ke Tahap Berikutnya Kantor-Berita.Com|| Proses seleksi terbuka (Selter) Jabatan Pimpinan Tinggi Madya (JPTM) Sekretaris Daerah Provinsi Bengkulu memasuki babak…
Program Makan Bergizi Gratis Genap Setahun, Anak Sehat Ekonomi Daerah Tumbuh Kantor-Berita.Com|| Satu tahun perjalanan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menjadi babak baru dalam sejarah pembangunan manusia Indonesia. Program unggulanPresiden…
Wujudkan Instruksi Presiden, Bengkulu Tengah Laksanakan Penanaman Jagung Serentak Kuartal IV Tahun 2025 Kantor-Berita.Com|| Pemerintah Kabupaten Bengkulu Tengah menunjukkan dukungan penuh terhadap program strategis nasional di bidang ketahanan pangan. Melalui…
Kemenkumham Perkuat Kapasitas HAM ASN di Bengkulu Tengah, Dorong Pelayanan Publik yang Humanis dan Berkeadilan Kantor-Berita.Com|| Komitmen pemerintah dalam memperkuat kesadaran dan kapasitas Aparatur Sipil Negara (ASN) terhadap Hak Asasi…